Pengelolaan limbah padat, gas dan cair
A.
LIMBAH
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari
suatu proses produksi baik industri maupun domestik(rumah tangga), yang lebih
dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila
ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan
Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah
dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia,
sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan
yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
1. Karakteristik limbah:
1.
Berukuran
mikro
2.
Dinamis
3.
Berdampak
luas (penyebarannya)
4.
Berdampak
jangka panjang (antar generasi)
2.
Faktor yang mempengaruhi kualitas
limbah adalah:
1.
Volume
limbah
2.
Kandungan
bahan pencemar
3.
Frekuensi
pembuangan limbah
Berdasarkan karakteristiknya, limbah
industri dapat digolongkan menjadi 4 bagian:
- Limbah cair
- Limbah padat
- Limbah gas dan partikel
Untuk
mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya
pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
- pengolahan menurut tingkatan perlakuan
- pengolahan menurut karakteristik limbah
BAB II
PENGELOLAHAN LIMBAH PADAT
1.
PENIMBUNAN LIMBAH
A.
Tujuan penimbunan limbah
Tujuan
pembuatan penimbunan limbah ialah menstabilkan limbah padat dan membuatnya
menjadi bersih melalui penyimpanan limbah secara benar dan penggunaan fungsi
metabolis alami yang benar.
B.
Klasifikasi struktur penimbunan limbah
Lokasi penimbunan limbah digolongkan
ke dalam 5 jenis menurut struktur sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 dan
Gambar 1. Dari segi mutu lindi dan gas yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan
limbah, baik metode penimbunan limbah semi-aerobik maupun aerobik yang
dikehendaki.
Tabel
1. Klasifikasi Struktur Penimbunan limbah
|
|
Penimbunan limbah anaerobik
|
Limbah padat harus ditimbun
kedalam galian di area tanah datar atau lembah. Limbah berisi air dan dalam
keadaan anaerobik.
|
Penimbunan limbah saniter anaerobik
|
Penimbunan limbah anaerobik dengan
penutup berbentuk "sandwich". Kondisi limbah padat sama dengan
penimbunan limbah anaerobik.
|
Penimbunan limbah saniter anaerobik yang telah
disempurnakan (penimbunan limbah saniter yang telah disempurnakan)
|
Memiliki sistem penampungan lindi
di dasar lokasi penimbunan limbah. Sedangkan yang lainnya sama seperti
penimbunan limbah saniter anaerobik. Kondisinya tetap anaerobik dan kadar air
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penimbunan limbah saniter anaerobik.
|
Penimbunan limbah semi-aerobik
|
Saluran penampungan lindi lebih besar
dari pada saluran penimbunan limbah saniter yang telah disempurnakan. Lubang
saluran dikelilingi udara dan salurannya ditutupi batu yang telah dihancurkan
kecil-kecil. Kadar air pada limbah padat kecil. Oksigen disediakan bagi
limbah padat dari saluran penampungan lindi
|
Penimbunan limbah aerobik
|
Di samping saluran penampungan
lindi, pipa persediaan udara dipasang dan udara didorong agar memasuki limbah
padat sehingga kondisinya menjadi lebih aerobik dibandingkan dengan
penimbunan limbah semi-aerobik.
|
B. PENCEGAHAN
POLUSI SKUNDER
1.
Keadaan sekarang dan masa depan
lokasi penimbunan limbah
Umumnya orang tidak menghendaki lokasi penimbunan limbah
dibuat dekat dengan tempat tinggal mereka karena hal ini dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan warga setempat. Dampak negatif
demikian disebut "polusi sekunder" mengingat tujuan utama lokasi
penimbunan limbah ialah menghindari polusi lingkungan hidup di daerah kota
dengan membawa limbah dari daerah kota, dan menampungnya di lokasi penimbunan
limbah yang baik. Meskipun demikian, lokasi penimbunan limbah merupakan
fasilitas umum yang sangat diperlukan bagi setiap kota modern di dunia. Oleh
karena itu, setiap kota perlu merencanakan dan merancang lokasi penimbunan
limbah dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat . Guna membuat lokasi
penimbunan limbah yang dapat diterima masyarakat setempat, polusi sekunder dan
dampak buruk yang ditimbulkannya perlu diperkecil. Perlu juga untuk dirumuskan
rencana pemakaian lokasi paska-penutupan dengan mempertimbangkan pendapat
masyarakat setempat.
2.
Polusi sekunder yang ditimbulkan
dari lokasi penimbunan limbah
(a) Pencemaran air
Lindi yang ditimbulkan dari lokasi
penimbunan limbah, jika tidak diolah akan, mencemarkan sungai, laut dan air
tanah.
(b) Pembentukan gas
Gas utama yang ditimbulkan dari
lokasi penimbunan limbah adalah metan, amonium, hidrogen sulfida, dan karbon
dioksida.
(c) Bau tak sedap
Ada dua jenis bau tak enak yang
ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah. Pertama adalah bau yang ditimbulkan
dari limbahnya sendiri, yang lainnya adalah gas yang ditimbulkan melalui
dekomposisi limbah.
(d) Hama dan vektor
Limbah dapur cenderung menjadi
sarang lalat, dan menarik tikus dan burung gagak.
(e) Kebisingan dan getaran
Kendaraan angkutan limbah yang masuk
dan peralatan penimbunan limbah dapat menjadi sumber kebisingan dan getaran.
(f) Kebakaran
Kebakaran dapat terjadi secara
spontan akibat pembentukan gas metan atau pemakaian bahan kimia. Kebakaran juga
dapat disebabkan oleh para pemulung atau orang lain.
3.
Pencegahan polusi sekunder dengan
menggunakan tanah penutup
Jika kita ingin mencegah polusi sekunder dengan sempurna
dengan mendirikan fasilitas pengolahan air limbah, misalnya, sejumlah besar
uang dan teknologi tinggi diperlukan. Penggunaan tanah penutup, meskipun tidak
sempurna dalam pencegahan polusi sekunder, dianjurkan karena cara ini ekonomis
dan efektif.
Bahan penutup seperti tanah harus digunakan untuk menutup
limbah padat dengan cepat setelah diturunkan. Setelah penurunan limbah terakhir
setiap hari, tanah penutup limbah harus dikumpulkan pada lerengan lapisan
limbah yang harus diatur setiap hari. Aplikasi tanah penutup sebagaimana
mestinya akan cukup banyak mengurangi polusi sekunder.
4.
Efektifitas metode tanah penutup
Penggunaan tanah penutup, akan
memberi manfaat dan pengaruh sebagai berikut:
(a) Pencegahan terjadinya penyebaran
sampah
(b) Pencegahan terjadinya bau tak sedap
(c) Menyingkirkan hama dan vektor
(d) Pencegahan kebakaran serta penyebarannya
(e) Penyempurnaan lansekap
(f) Pengurangan pembentukan lindi
(b) Pencegahan terjadinya bau tak sedap
(c) Menyingkirkan hama dan vektor
(d) Pencegahan kebakaran serta penyebarannya
(e) Penyempurnaan lansekap
(f) Pengurangan pembentukan lindi
Sebagaimana disebutkan di atas,
aplikasi tanah penutup sangat efektif dalam pencegahan polusi lingkungan hidup.
Bahan tanah penutup tidak perlu yang harus dibeli. Limbah tanah, limbah pembongkaran, atau limbah lama dapat digunakan sebagai tanah penutup.
Bahan tanah penutup tidak perlu yang harus dibeli. Limbah tanah, limbah pembongkaran, atau limbah lama dapat digunakan sebagai tanah penutup.
5. Pengelolaan
dan Kegiatan Lokasi Penimbunan limbah
Hal yang penting diperhatikan ialah
memelihara lokasi penimbunan limbah agar tetap bersih dan sehat, dan
memperbesar kapasitas lokasi penimbunan limbah dengan operasi yang baik.
Aktivitas pengelolaan dan operasi
lokasi meliputi hal-hal berikut:
(a) Analisa limbah
Periksa semua jenis limbah yang
masuk. Jangan menerima limbah berbahaya jenis apapun. Buat catatan limbah yang
masuk mengenai jenis dan banyaknya.
(b)
Penimbunan limbah saniter
Membuat
rencana kegiatan lokasi penimbunan limbah dimuka, dan ikuti rencana ini.
"Merencanakan sebelum Operasi" sungguh penting bagi sanitasi lokasi
penimbunan limbah.
(c) Upaya
pelestarian lingkungan hidup
Memantau
linindi dan gas secara reguler, dan kontrol vektor.
(d)
Catatan Penimbunan limbah
Ukur
dan buat catatan ketinggian lokasi penimbunan secara rutin, yang dapat berguna
untuk memperkirakan kapasitas lokasi penimbunan yang masih ada. Sediakan semua bahan
yang diperlukan.
(e) Pengelolaan lokasi
paska-penimbunan limbah
Bahkan setelah penyelesaian
pembuatan lokasi penimbunan limbah, perlu dilanjutkan dengan pemantauan
penurunan tanah dan polusi lingkungan hidup yang diakibatkan oleh lindi.
6. Rencana
Pemanfaatan Lokasi Paska-Penimbunan limbah
Kegiatan penimbunan limbah dapat dipertimbangkan sebagai
langkah pembentukan tanah. Kegiatan penimbunan limbah harus dirancang
sedemikian rupa sehingga mempercepat penggunaan kembali lokasi paska-penutupan,
dan mempermudah pengelolaan lokasi paska-penutupan sebelum digunakan kembali.
Karena pembuangan secara terbuka akan menciptakan tanah lempung, dan memerlukan
waktu lebih lama sebelum pembentukan gas metan dan bau tak sedap hilang, metode
pembuangan terbuka memerlukan waktu yang lama sebelum pemakaian kembali
dimungkinkan, dan karenanya kegiatan ini tidak dianjurkan.
Berbagai faktor yang mempengaruhi permulaan penggunaan kembali penimbunan limbah paska-penutupan meliputi 1) kecepatan penurunan tanah, 2) mutu lindi, 3) mutu dan kadar gas, dan 4) suhu endapan limbah di lokasi penimbunan limbah paska-penutupan.
Adalah sangat penting untuk menggunakan rencana penggunaan lokasi paska-penutupan ke dalam rancangan dan kegiatan lokasi penimbunan limbah.
Berbagai faktor yang mempengaruhi permulaan penggunaan kembali penimbunan limbah paska-penutupan meliputi 1) kecepatan penurunan tanah, 2) mutu lindi, 3) mutu dan kadar gas, dan 4) suhu endapan limbah di lokasi penimbunan limbah paska-penutupan.
Adalah sangat penting untuk menggunakan rencana penggunaan lokasi paska-penutupan ke dalam rancangan dan kegiatan lokasi penimbunan limbah.
BAB III
PENGLOLAHAN LIMBAH GAS
Industri selalu dikaitkan sebagai sumber pencemar karena
aktivitas industri merupakan kegiatan yang sangat tampak dalam pembebasan
berbagai senyawa kimia ke lingkungan. Teman-teman sering melihat asap tebal
membubung keluar dari cerobong pabrik? Ya, asap tebal tersebut merupakan limbah
gas yang dikeluarkan pabrik ke lingkungan. Bagaimanakah teknologi pengolahan
limbah gas tersebut sebelum akhirnya dibuang ke lingkungan bebas?
Sebagian jenis gas dapat dipandang sebagai pencemar udara terutama
apabila konsentrasi gas tersebut melebihi tingkat konsentrasi normal dan dapat
berasal dari sumber alami (seperti gunung api) serta juga gas yang berasal dari
kegiatan manusia (anthropogenic sources). Senyawa pencemar udara itu
sendiri digolongkan menjadi (a) senyawa pencemar primer, dan (b) senyawa
pencemar sekunder. Senyawa pencemar primer adalah senyawa pencemar yang
langsung dibebaskan dari sumber sedangkan senyawa
pencemar sekunder
ialah senyawa pencemar yang baru terbentuk akibat antar-aksi dua atau lebih
senyawa primer selama berada di atmosfer. Dari sekian banyak senyawa pencemar
yang ada, lima senyawa yang paling sering dikaitkan dengan pencemaran udara
ialah: karbonmonoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), oksida sulfur (SOx),
hidrokarbon (HC), dan partikulat (debu).
Definisi dari pencemaran udara itu sendiri ialah peristiwa
pemasukan dan/atau penambahan senyawa, bahan, atau energi ke dalam lingkungan
udara akibar kegiatan alam dan manusia sehingga temperatur dan karakteristik
udara tidak sesuai lagi untuk tujuan pemanfaatan yang paling baik. Atau dengan
singkat dapat dikatakan bahwa nilai lingkungan udara tersebut telah menurun.
Pencemaran udara yang disebabkan oleh aktivitas manusia
dapat ditimbulkan dari 6 (enam) sumber utama, yaitu:
- pengangkutan dan transportasi
- kegiatan rumah tangga
- pembangkitan daya yang menggunakan bahan bakar fosil
- pembakaran sampah
- pembakaran sisa pertanian dan kebakaran hutan
- pembakaran bahan bakar dan emisi proses
Suatu penelitian dari Ross [1972] menyatakan bahwa
pengangkutan merupakan sumber yang memberikan iuran terbesar dalam emisi
pencemar per tahun dan hal ini terus meningkat karena adanya penambahan
kendaraan dalam lalu lintas di jalan raya pada lima tahun terakhir. Di Amerika
Serikat, industri memberikan bagian yang relatif kecil pada pencemaran
atmosferik jika dibandingkan dengan pengangkutan. Namun, karena kegiatan
industri merupakan aktivitas yang mudah diamati dan merupakan golongan sumber
pencemaran titik (point source of pollution), masyarakat pada umumnya
lebih menganggap industri sebagai sumber utama polutan yang menyebabkan udara
tercemar. Belum lagi dengan limbah padat dan limbah cair industri yang semakin
memperparah image negatif industri di masyarakat.
A.
PENGENDALIAN PENCEMARAN
Pengendalian pencemaran akan membawa dampak positif bagi
lingkungan karena hal tersebut akan menyebabkan kesehatan masyarakat yang lebih
baik, kenyamanan hidup lingkungan sekitar yang lebih tinggi, resiko yang lebih
rendah, kerusakan materi yang rendah, dan yang paling penting ialah kerusakan
lingkungan yang rendah. Faktor utama yang harus diperhatikan dalam pengendalian
pencemaran ialah karakteristik dari pencemar dan hal tersebut bergantung pada
jenis dan konsentrasi senyawa yang dibebaskan ke lingkungan, kondisi geografik
sumber pencemar, dan kondisi meteorologis lingkungan.
Pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu pengendalian pada sumber pencemar dan pengenceran limbah gas.
Pengendalian pada sumber pencemar merupakan metode yang lebih efektif karena
hal tersebut dapat mengurangi keseluruhan limbah gas yang akan diproses dan
yang pada akhirnya dibuang ke lingkungan. Di dalam sebuah pabrik kimia,
pengendalian pencemaran udara terdiri dari dua bagian yaitu penanggulangan
emisi debu dan penanggulangan emisi senyawa pencemar.
Alat-alat pemisah debu bertujuan untuk memisahkan debu dari
alirah gas buang. Debu dapat ditemui dalam berbagai ukuran, bentuk, komposisi
kimia, densitas, daya kohesi, dan sifat higroskopik yang berbeda. Maka dari
itu, pemilihan alat pemisah debu yang tepat berkaitan dengan tujuan akhir
pengolahan dan juga aspek ekonomis. Secara umum alat pemisah debu dapat
diklasifikasikan menurut prinsip kerjanya:
Pemisah Brown
Alat
pemisah debu yang bekerja dengan prinsip ini menerapkan prinsip gerak partikel
menurut Brown. Alat ini dapat memisahkan debu dengan rentang ukuran 0,01 – 0,05
mikron. Alat yang dipatenkan dibentuk oleh susunan filamen gelas denga jarak
antar filamen yang lebih kecil dari lintasan bebas rata-rata partikel.
Penapisan
Deretan
penapis atau filter bag akan dapat menghilangkan debu hingga 0,1 mikron.
Susunan penapis ini dapat digunakan untuk gas buang yang mengandung minyak atau
debu higroskop
Electrostatic
Precipitator
Pengendap elektrostatik
Alat
ini mengalirkan tegangan yang tinggi dan dikenakan pada aliran gas yang
berkecepatan rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan secara
beraturan dengan cara getaran. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan
pengendap elektrostatik ini ialah didapatkannya debu yang kering dengan ukuran
rentang 0,2 – 0,5 mikron. Secara teoritik seharusnya partikel yang terkumpulkan
tidak memiliki batas minimum.
Pengumpul sentrifugal
Pemisahan
debu dari aliran gas didasarkan pada gaya sentrifugal yang dibangkitkan oleh
bentuk saluran masuk alat. Gaya ini melemparkan partikel ke dinding dan gas
berputar (vortex) sehingga debu akan menempel di dinding serta terkumpul
pada dasar alat. Alat yang menggunakan prinsip ini digunakan untuk pemisahan
partikel dengan rentang ukuran diameter hingga 10 mikron lebih.
Pemisah inersia
Pemisah
ini bekerja atas gaya inersia yang dimiliki oleh partikel dalam aliran gas.
Pemisah ini menggunakan susunan penyekat sehingga partikel akan bertumbukan
dengan penyekat dan akan dipisahkan dari aliran fasa gas. Alat yang bekerja
berdasarkan prinsip inersia ini bekerja dengan baik untuk partikel yang
berukuran hingga 5 mikron.
Pengendapan dengan gravitasi
Alat
yang bekerja dengan prinsip ini memanfaatkan perbedaan gaya gravitasi dan
kecepatan yang dialami oleh partikel. Alat ini akan bekerja dengan baik untuk
partikel dengan ukuran yang lebih besar dari 40 mikron dan tidak digunakan
sebagi pemisah debu tingkat akhir.
Di industri, terdapat juga beberapa alat yang dapat
memisahkan debu dan gas secara bersamaan (simultan). Alat-alat tersebut
memanfaatkan sifat-sifat fisik debu sekaligus sifat gas yang dapat terlarut
dalam cairan. Beberapa metoda umum yang dapat digunakan untuk pemisahan secara
simultan ialah:
Irrigated Cyclone Scrubber
- Menara percik
Prinsip kerja menara percik ialah
mengkontakkan aliran gas yang berkecepatan rendah dengan aliran air yang
bertekanan tinggi dalam bentuk butiran. Alat ini merupakan alat yang relatif
sederhana dengan kemampuan penghilangan sedang (moderate). Menara percik
mampu mengurangi kandungan debu dengan rentang ukuran diameter 10-20 mikron dan
gas yang larut dalam air.
- Siklon basah
Modifikasi dari siklon ini dapat
menangani gas yang berputar lewat percikan air. Butiran air yang mendandung
partikel dan gas yang terlarut akan dipisahkan dengan aliran gas utama atas
dasar gaya sentrifugal. Slurry dikumpulkan di bagian bawah siklon. Siklon jenis
ini lebih baik daripada menara percik. Rentang ukuran debu yang dapat dipisahkan
ialah antara 3 – 5 mikron.
- Pemisah venture
Metode pemisahan venturi didasarkan
atas kecepatan gas yang tinggi pada bagian yang disempitkan dan kemudan gas
akan bersentuhan dengan butir air yang dimasukkan di daerah sempit tersebut.
Alat ini dapat memisahakan partikel hingga ukuran 0,1 mikron dan gas yang larut
di dalam air.
Tumbukan orifice plate
Alat
ini disusun oleh piringan yang berlubang dan gas yang lewat orifis ini
membentur lapisan air hingga membentuk percikan air. Percikan ini akan
bertumbukkan dengan penyekat dan air akan menyerap gas serta mengikat debu.
Ukuran partikel paling kecil yang dapat diserap ialah 1 mikron.
Menara dengan packing
Prinsip
penyerapan gas dilakukan dengan cara mengkontakkan cairan dan gas di antara packing.
Aliran gas dan cairan dapat mengalir secara co-current, counter-current,
ataupun cross-current. Ukuran debu yang dapat diserap ialah debu yang
berdiameter lebih dari 10 mikron.
Pencuci dengan pengintian
Prinsip
yang diterapkan adalah pertumbuhan inti dengan kondensasi dan partikel yang
dapat ditangani ialah partikel yang berdiameter hingga 0,01 mikron serta
dikumpulkan pada permnukaan filamen.
Pembentur turbulen
Pembentur
turben pada dasarnya ialah penyerapan partikel dengan cara mengalirkan aliran
gas lewat cairan yang berisi bola-bola pejal. Partikel dapat dipisahan dari
aliran gas karena bertumbukkan dengan bola-bola tersebut. Efisiensi penyerapan
gas bergantung pada jumlah tahap yang digunakan.
B.
PEMILIHAN TEKNOLOGI
Teknologi
pengendalian harus dikaji secara seksama agar penggunaan alat tidak berlebihan
dan kinerja yang diajukan oleh pembuat alat dapat dicapai dan memenuhi
persyaratan perlindungan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
teknologi pengendalian dan rancangan sistemnya ialah:
1.
watak gas buang atau efluen
2.
tingkat pengurangan limbah yang
dibutuhkan
3.
teknologi komponen alat pengendalian
pencemaran
4.
kemungkinan perolehan senyawa
pencemar yang bernilai ekonomi
Industri-industri
di Indonesia terutama industri milik negara telah menerapakan sistem
pengendalian pencemaran udara dan sistem ini terutama dikaitkan dengan proses
produksi serta penanggulangan pencemaran debu.
Nah,
kembali ke permasalahan yang mendasar:
“Mengapa limbah gas begitu penting untuk diolah dan dikendalikan?”
Hujan asam, penipisan lapisan ozon, photochemical smog, dan global warming. Does any of those ring you a bell??
“Mengapa limbah gas begitu penting untuk diolah dan dikendalikan?”
Hujan asam, penipisan lapisan ozon, photochemical smog, dan global warming. Does any of those ring you a bell??
BAB IV
PENGELOLAAN LIMBAH B3
Definisi limbah B3 berdasarkan
BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi
yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity,
flammability, reactivity, dan corrosivity) serta
konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:
- Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap
- Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
- Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut
- Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Limbah B3 dikarakterisasikan
berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR),
kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR),
kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau
sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak,
beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
- jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
- jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
- pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
- peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar
A.
TEKNOLOGI PENGOLAHAN
Terdapat
banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer
di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization,
dan incineration.
- Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
o
menstabilkan senyawa-senyawa organik
yang terkandung di dalam lumpur
o
mereduksi volume dengan mengurangi
kandungan air dalam lumpur
o
mendestruksi organisme patogen
o
memanfaatkan hasil samping proses chemical
conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang
dihasilkan pada proses digestion
o
mengkondisikan agar lumpur yang
dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai
berikut:
a)
Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
b)
Treatment, stabilization, and
conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
c)
De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
d)
Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
2.
Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
a.
Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan
berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
b.
Microencapsulation, yaitu proses yang mirip
macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur
kristal pada tingkat mikroskopik
c.
Precipitation
d.
Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar
diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
e.
Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan
pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
f.
Detoxification, yaitu proses mengubah suatu
senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah
atau bahkan hilang sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi
umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang
diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant
mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL
berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3.
Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi
adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan
kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value
juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi.
Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3
ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open
pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste
injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator
tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat
mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
B.
PENANGANAN LIMBAH B3
Hazardous Material Container
Limbah
B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang
mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut
termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah
B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara
umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik,
bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak
bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah
meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat
menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam
atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida
organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan
kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar
dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah.
Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan
limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per
kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari
sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus
sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan
dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus
diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak
kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air,
tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan
maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari
masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal
petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan
yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan
darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3,
Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga
tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di
Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa
karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus
dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi
pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam
jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup
agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang
mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya
sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu
yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga
adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada
di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
Secured
Landfill. Faktor
hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus
diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan
pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak
terkontaminasi oleh limbah B3.
C.
PEMBUANGAN LIMBAH B3 (Disposal)
Sebagian dari limbah B3 yang telah
diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir
pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak
digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal
well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci
mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3
diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner,
(2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner
dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang
ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured
landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi
kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate),
dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem
pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian
penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran,
pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup.
Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan
air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor
atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan
agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
1.
Deep Injection Well.
Pembuangan limbah B3 melalui metode
ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif
terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur
injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan
hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep
well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat
pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah
ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi
geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan
mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan
cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam
pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi
wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam
suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air
tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti
shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak
dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan
tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat
dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan
gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut
dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami
presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam
kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan
viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga
saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke
sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini
ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun,
limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau
secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan
bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami
perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.
BAB V
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR
Metode
pengolahan limabah cair dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu primary
treatment, secondary treatment dan tertiary treatment.
A.
PRIMARY TREATMENT
Prinsip dari metode primary treatment yaitu mengambil bahan
yang terapung dan yang mengendap yang
terbawa oleh limbah air secara fisik, misalnya dengan menggunakan saringan atau
cara pengendapan. Primary treatment sering pula disebut Mechanical treatment,
pada awal processing, limbah cair dilewatkan pada alat saringan dengan ukuran
dan bentuk yang bermacam – macam.
Setelah bahan – bahan organic yang dapat disaring dilewatkan
pada proses grid removal, pada proses ini pasir dan batu – batu kecil
diendapkan dan biasanya hasil proses pertama dan kedua ini dibuang dalam bentuk
LANDFILLED.
Langkah berikutnya dapat dilakukan proses primary setting
basin yang dilengkapi dengan skimmer untuk menangkap minyak yang ada di dalam
limbah, bahan pencemar yang berhasil ditangkap di sini sering disebut primary
sludge, mengikat kandungan bahan pencemar dalam limbah dan tidak selalu sama
dalam aliran, maka untuk efisiensi dalam prosesing maka limbah tersebut
ditampung dulu di equalization sekitar 8 jam, sering pula diadakan proses
penghancuran yang disebut blanding bosins atau grinding.
B.
SECONDARY TREATMENT
Di dalam secondaty treatment merupakan biological treatment,
tetapi masi mungkin perlu dilakukan beberapa proses pendahuluan, yaitu:
a.
Proses koagulasi
b.
Flokulasi
c.
Sedimentasi
Proses koagulasi yaitu menggunakan
berbagai chemical coagulation dan akan menghasilkan gumpalan netal hidroksida
Flokulasi yaitu menggunakan bahan
antara lain copperas dan kapur yang akan menghasilkan ferihidroksida yang
berbentuk flok. Proses – proses yang telah dilakukan dalam primary treatment
masih banyak kandungan bahan yang tersuspensi, untuk mengendapakan bahan yang
tersuspensi dengan melambatkan aliran limbah di tangki atau bak sedimentasi
terutama bahan – bahan dalam bentuk flok.
Proses
di dalam secondary treatment dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu:
1.
Activated sludge
Proses
ini dapat disebut juga proses lumpur aktif dalam suatu kolom. Lumpur aktif atau
biosolid adalah suatu endapan lumpur dari tanki aerasi yang mengandung organism
mikro seperti bakteri, protozoa, algae dan fungi.
Biosolid
tersebut dimasukkan ke dalam tank reactor yangberisi limbah cair, biosolid,
organism mikro dan udara sehingga terjadi degradaasi penguraian bahan oraganik
dalam limbah oleh mikro organism. Proses tersebut akan menghasilkan lumpur
aktif, setelah proses berjalan, beberapa jam kemudian dialirkan ke dalam tanki
pengendapan. Sebagian sludge yang mengendap dapat digunakan lagi untuk prosesing
sedang sisanya sebelum dibuang perlu diberikan klorin terlebih dahulu untuk
membunuh organisme.
2.
Trickling Filter
Proses
ini dapat juga disebut sebagai saringan biologi. Proses terjadi apabila air
limbah yang mengandung bahan organic secara lambat pada lapisan dari batuan –
batuan kecil dengan diameter 2.5 cm yang permukaannya ditumbuhi mikro organism
sehingga berbentuk suatu film, sehingga film batu – batu kecil tersebut hanyut,
organism mikro yang akan menguraikan bahan organic dalam limbah cair yang
melewati batu – batuan tersebut. Agar saringan batu – batu tersebut tidak
tersumbat maka bahan organic dalam limbah jangan terlalu pekat. Batu – batu
kecil tersebut dapat dibuat dari pecahan batu, plastic maupun media sintetik
lainnya.
3.
Oxidatin ponds
Kolom
oksidasi ini sebenarnya suatu aerobic oksidasi atau aerasi ini hanya terjadi
pada permukaan air limbah oleh angin. Proses penguraian bahan organic terutama
dilakukan oleh algae. Kolom aksidasi dibuat dangakal (sekitar 50 cm) agar dapat
dicapai sinar matahari. Didalam kolom terjadi proses simbosis dari bakteri dan
alga. Bakteri akan menguraikan bahan organic dalam limbah dan melepas CO2
dan H2O. kemudian CO2 akan digunakan algae dalam
fotosintesis dan akan meghasilkan O2 yang diperlukan bakteri.
4.
Aeration Ponds
Proses
kolom aerasi ini juga disebut sebagai proses aerobic. Proses ini menggunakan
mikro organism khususnya bakteri untuk menguraikan bahan organic dlam limbah,
dengan diberikan tambah O2 murni (O2 dari udara) proses
ini akan meghasilkan lupur atau sludge yang harus dikeluarkan dari kolom.
5.
Facultative Ponds
Proses
yang terjadi dalam kolom facultative merupakan proses gabungan aerobic dan
anaerobic. Di lapisan limbah cair bagian atas (sekitar 1,5 m) terjadi proses aerobic
karena cukup tersedia O2 sedangkan lapisan di bawahnya terjadi
proses anaerobic karena sudah tidak tersedia O2 bagi organism mikro.
Kolom facultative ini, biasanya kan disambung dengan kolom maturation.
Kolom maturation berfungsi sebagai proses lanjutan
yang merupakan proses aerobic untuk lebih memantapkan kualitas dari limbah cair
baik dalam BOD, sludge maupun bakterinya (coliform)
6.
Anerobic Ponds
Proses
ini biasa terjadi dalam suatu reactor tertutup karena organism mikro yang
memproses akan mati apabila tidak terdapat O2 dalam limbah, misanya
yang dilakukan bakteri anaerobic. Proses ini akan menghasilkan gas yang berbau
tidak enak / busuk dari sulfide (H2S) disamping gas metana (CH4),
amoniak (NH3) dan sludge.
C.
TERTIARY TREATMENT
Pengolahan
limbah cair pada tingkat ini merupakan pengolahan yang ditujukan pada bahan
pencemar kinsa yang masih terdapat di dalam limbah cair. Proses penangkapan atau pembersihan limbah cair dari bahan
pencemar kimia dapat dilakukan berbagai cara sebagai berikut.
1.
Filtration
Proses
penyaringan ini ditujukan untuk mengurangi kandugan padatan tersuspensi
(suspended solid) dengan cara sederhana yaitu mengalirkan air. Limbah ke
saringan sangat rapat (micro screening) atau suatu saringan metal dengan diameter
lubang (sekitar 23 mikro meter) proses ini mampu mengurangi padatan tersuspensi
sampai 89%.
BCD
sampai 81% total organic, karbon 30% dan turbidity sampai 76%. Lapisan saringan
dapat pula dibuat dari pasir yang lembut, arang atau garnet. System saringan
ini dapat disempurnakan lagi dengan menambahkan tekanan atau memanfaatkan
tenaga gravitasi. Untuk membersihkan beberapa pencemar khusus sepertii
phosphorus perlu dilakukan flakulasi terlebih dahulu, yang perlu diperhatikan
dalam proses ini ialah pembersihan saringan secara teratur.
2.
Adsorption
Pencemar
organic yang terlarut sering menimbulkan perubahan rasa, baud an warna yang
tidak disukai dan dapat pula bersifat racun bagi tumbuhan dan hewan.
Bahan
pencemar ini sering disebut refractory organies, bahan pencemar ini dapat
ditangkap pada proses adsorpsi dari karbon aktif. Karbon ini berbentuk granular
yang poros dan mempunyai permukaan luas. Setelah jarbon dapat mengadsorpsi
bahan pencemar untuk mengembalikan fungsinya perlu dipanaskan sampai sekitar
17000 F dengan aliran udara panas.
3.
Chemical oxidation
4.
Electrodialysis
5.
Ion exchange
6.
Reverse osmosis
7.
Penangkapan phosphorus dan nitrogen